Pas Marque – Lestarikan Kebaya menjadi perjuangan Atie Nitiasmoro yang tak hanya sekadar mengangkat warisan budaya, tetapi juga menghadapi tantangan sosial. Dalam perjalanannya, Atie tidak hanya berjuang untuk melestarikan kebaya, tetapi juga berhadapan dengan cemoohan yang datang dari sekitar. Meskipun demikian, semangatnya untuk terus menggunakan kebaya sehari-hari tidak pernah surut. Ia terus berkomitmen untuk memperkenalkan kebaya sebagai simbol budaya Indonesia yang harus dihargai.
Atie Nitiasmoro mengungkapkan bahwa ketertarikannya terhadap kebaya sudah ada sejak lama. Ia menyukai hal-hal yang berbau kebudayaan, khususnya budaya etnik. Namun, ia baru mulai mengenakan kebaya secara rutin pada sekitar tahun 2014. Sebelum itu, kebaya hanya dikenakan untuk acara-acara tertentu, seperti reuni atau bekerja. “Pada dasarnya saya suka dengan segala hal yang berbau etnik, saya suka sekali. Iya (sudah berkebaya sebelum tahun 2014), tapi belum sehari-hari,” kata Atie saat diwawancarai oleh Kompas.com.
Perubahan signifikan terjadi ketika Atie mulai melihat kebaya sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia yang harus dijaga. Dari sekadar pakaian untuk acara tertentu, kebaya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang kemudian ia jadikan sebagai pilihan utama dalam berbusana.
“Baca juga: Busana Hari Raya 2025: Kesederhanaan yang Menyimpan Keanggunan”
Namun, perjalanan Atie dalam melestarikan kebaya bukan tanpa rintangan. Ia sempat menghadapi cemoohan dari orang-orang di sekitar. Salah satu pengalaman yang sangat diingat adalah ketika ia dijumpai oleh teman-teman ibu-ibu sekolah anaknya. Mereka mempertanyakan kebiasaannya mengenakan kebaya setiap hari. “Ibu-ibu dari teman sekolah anak saya, kalau saya jemput anak saya dan kami ngumpul, mereka bilang, ‘mbak, ngapain sih lu kebayaan mulu? Enggak enak dilihatnya’. Ada yang bilang begitu, tapi saya tetap dengan kebaya saya,” ujar Atie mengenang kejadian tersebut.
Meski mendapat komentar negatif, Atie tetap teguh pada pilihannya. Ia merasa bahwa kebaya bukan hanya sekadar pakaian, tetapi simbol dari kebudayaan Indonesia yang perlu dihargai dan dilestarikan. Pandangan negatif tersebut tidak mempengaruhi tekadnya untuk terus berkebaya.
Pada akhir tahun 2014, Atie diberi kesempatan untuk bergabung dengan komunitas pegiat kebaya. Komunitas ini menjadi wadah bagi Atie untuk bertemu dengan orang-orang yang memiliki minat dan semangat yang sama dalam melestarikan kebaya. “Ketika teman saya ajak ikut mereka bikin gerakan berkebaya, untuk masuk komunitas, itu dengan senang hati saya menyambut ajakan dan berkomitmen sampai sekarang,” kata Atie.
Keputusan untuk bergabung dengan komunitas berkebaya menjadi salah satu langkah penting dalam perjalanan Atie. Dalam komunitas ini, ia tidak hanya berbagi pengalaman, tetapi juga mendapatkan dukungan moral untuk terus mengampanyekan kebaya sebagai busana yang elegan dan penuh makna budaya. Komunitas ini membantu Atie lebih memperkenalkan kebaya kepada masyarakat luas dan menunjukkan betapa pentingnya kebaya dalam menjaga warisan budaya Indonesia.
Sebagai bagian dari upayanya untuk melestarikan kebaya, Atie Nitiasmoro bersama empat rekannya yang lain akan meluncurkan buku yang berjudul “Kebaya Kaya Gaya”. Buku ini akan diluncurkan pada Selasa, 23 Juli 2024, bertepatan dengan perayaan Hari Kebaya Nasional. Peluncuran buku ini adalah bentuk nyata komitmen Atie dalam memperkenalkan kebaya kepada generasi muda. Buku ini akan mengupas tentang kebaya, mulai dari sejarah, filosofi, hingga perkembangan kebaya di Indonesia.
Meskipun saat ini Atie tinggal di Vatikan, mengikuti suaminya yang menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci (Vatikan), semangatnya untuk melestarikan kebaya tidak pernah padam. Atie tetap mengampanyekan penggunaan kebaya sebagai busana sehari-hari, meskipun ia jauh dari Tanah Air.
“Simak juga: Curug Cilember Bogor: Surga Tersembunyi dengan Tujuh Air Terjun dan Hutan Pinus”
Bagi Atie, kebaya bukan hanya pakaian, tetapi simbol dari identitas budaya Indonesia. Ia percaya bahwa mengenakan kebaya setiap hari bukan hanya sekadar gaya, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap budaya Indonesia. Kebaya, bagi Atie, adalah cara untuk menunjukkan kecintaan terhadap warisan budaya yang kaya dan beragam. Atie berharap semakin banyak orang yang mau lestarikan kebaya dan mengenakannya dengan bangga, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kebaya juga dapat menjadi jembatan penghubung antar generasi. Melalui buku dan komunitas, Atie berharap kebaya tidak hanya dikenal sebagai pakaian tradisional, tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup yang kekinian. “Kebaya adalah bagian dari gaya hidup. Kita harus bangga dengan kebaya, karena kebaya memiliki banyak makna dan sejarah yang mendalam,” tuturnya. Dengan begitu, Atie mengajak semua orang untuk ikut berperan dalam upaya lestarikan kebaya agar warisan budaya ini terus hidup dan dihargai oleh generasi mendatang.
Atie Nitiasmoro terus berkomitmen untuk melestarikan kebaya, baik melalui kegiatannya di komunitas berkebaya maupun melalui peluncuran buku. Ia berharap dengan adanya gerakan ini, kebaya akan semakin dikenal luas dan dihargai oleh masyarakat Indonesia, bahkan dunia internasional. Melalui kegigihan dan semangatnya, Atie telah membuktikan bahwa pelestarian kebaya adalah suatu usaha yang patut diperjuangkan.