Pas Marque – Bali tidak hanya dikenal dengan alam dan upacaranya, tetapi juga dengan ragam pakaian adat yang penuh filosofi. Secara umum, terdapat tiga jenis baju adat Bali yang digunakan masyarakat dalam berbagai konteks kehidupan, mulai dari kegiatan sehari-hari hingga upacara suci. Ketiganya adalah Payas Agung, Payas Madya, dan Payas Alit. Masing-masing memiliki peran yang berbeda dalam struktur sosial dan keagamaan. Setiap daerah di Bali juga memiliki variasi unik dari ketiga jenis busana tersebut, namun tetap mengacu pada pakem adat yang telah diwariskan turun-temurun. Pakaian adat ini tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tetapi juga sebagai simbol identitas dan kehormatan. Dalam setiap elemen busana tersebut, tersimpan nilai spiritual dan budaya yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam, masyarakat, dan Tuhan. Oleh karena itu, penting untuk memahami fungsi, unsur, dan filosofi dari setiap jenis pakaian adat yang dikenakan masyarakat Bali.
Tiga jenis baju adat Bali memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam kehidupan masyarakat Bali. Pertama, Payas Agung merupakan busana paling mewah dan lengkap. Dahulu dikenakan oleh kasta brahmana, ksatria, dan waisya, kini lebih banyak digunakan oleh pengantin dalam upacara pernikahan. Warna-warna cerah pada busana ini melambangkan kegembiraan dan kebahagiaan. Kedua, Payas Madya adalah pakaian adat tingkat menengah. Biasanya dikenakan dalam upacara potong gigi atau saat seseorang hendak meminang. Selain itu, busana ini juga digunakan saat mengunjungi tempat-tempat suci seperti pura atau situs kerajaan. Ketiga adalah Payas Alit, yang digunakan sehari-hari untuk aktivitas keagamaan atau adat yang bersifat rutin. Busana ini sangat sederhana, dengan unsur dasar seperti kamen, sabuk, dan udeng. Ketiganya mewakili tahapan atau tingkat kegiatan dalam kehidupan masyarakat Bali, dari yang paling sakral hingga yang paling umum dan kasual.
“Baca juga: Seunghan Jadi Ikon Fashion Baru? Gaya Busananya Bikin Dunia K-Pop Terkesima!”
Dalam budaya Bali, pakaian adat untuk pria memiliki unsur-unsur penting yang penuh simbolisme. Kamen atau kain dikenakan dengan arah lipatan dari kiri ke kanan sebagai lambang pemegang dharma. Ketinggian kain sekitar sejengkal dari telapak kaki menunjukkan kesadaran berpijak pada dharma dalam setiap langkah. Lelancingan atau kancut yang menjulur hingga menyentuh tanah dimaknai sebagai penghormatan kepada ibu pertiwi dan simbol kejantanan. Untuk menutupnya, digunakan kampuh atau saputan yang berfungsi menahan pengaruh buruk dari luar. Umpal atau selendang kecil dikenakan untuk mengendalikan emosi dan membagi tubuh menjadi dua bagian, melambangkan pengendalian diri. Bagian atas ditutup dengan kwaca atau baju yang rapi dan bersih, sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan. Penutup kepala atau udeng terdiri dari berbagai jenis, seperti jejateran untuk sembahyang, dara kepak untuk raja, dan beblatukan untuk pemangku. Masing-masing melambangkan status dan peran dalam masyarakat adat.
Busana adat Bali untuk wanita juga terdiri dari unsur-unsur yang kaya akan makna dan fungsi simbolis. Kamen dikenakan dengan arah lipatan dari kanan ke kiri sebagai lambang sakti atau kekuatan penjaga keseimbangan. Ketinggian kain yang lebih pendek melambangkan langkah hati-hati seorang wanita dalam menjaga harmoni. Bulang dikenakan di bagian tengah tubuh untuk melindungi rahim dan mengendalikan emosi, sebagai simbol kekuatan batin. Selendang atau senteng diikat di sisi kiri sebagai lambang mebraya, yaitu kemampuan wanita untuk membimbing dan meluruskan jalan pasangannya. Kebaya sebagai penutup atas dipakai untuk memperindah tampilan sekaligus mengekspresikan rasa syukur. Gaya rambut atau pepusungan memiliki makna tersendiri. Pusung gonjer menandai status belum menikah, pusung tagel untuk yang telah menikah, dan pusung podgala digunakan dalam konteks tertentu sebagai lambang spiritualitas. Semua unsur ini mencerminkan peran perempuan dalam menjaga tatanan dan kesucian hidup di tengah masyarakat.
Penataan busana adat Bali dibagi berdasarkan konsep tri angga atau tiga bagian tubuh yaitu dewa angga, manusa angga, dan butha angga. Bagian dewa angga meliputi kepala hingga leher dan menjadi pusat energi spiritual. Bagian manusa angga adalah dari leher hingga pusar, melambangkan kesadaran dan emosi manusia. Sedangkan butha angga yang terletak dari pusar ke bawah mencerminkan unsur duniawi dan kekuatan fisik. Setiap unsur busana disusun untuk menyelaraskan ketiga elemen ini agar tercipta keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Bahkan cara mengikat kain, posisi simpul, hingga arah lilitan memiliki makna filosofis yang dalam. Warna juga dipilih dengan pertimbangan spiritual. Warna kuning melambangkan kesucian, putih untuk kebersihan batin, dan merah sebagai kekuatan semangat hidup. Semua aspek ini tidak hanya menunjukkan estetika, tetapi juga merupakan warisan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Busana adat Bali menjadi cerminan kesadaran manusia terhadap alam, nilai sosial, dan spiritualitas dalam kehidupan.
Artikel ini bersumber dari www.detik.com dan untuk lebih lengkapnya kalian bisa baca di pasmarque.com
Penulis : Sarah Azhari
Editor : Anisa