
Pas Marque – Kostum Halloween telah berevolusi jauh dari asal-usulnya yang identik dengan hal-hal mistis. Kini, perayaan ini menjadi ruang ekspresi diri dan bentuk pernyataan budaya. Apa yang dahulu hanyalah ritual untuk menolak roh jahat, kini berubah menjadi ajang untuk menunjukkan kreativitas, identitas, bahkan perlawanan sosial. Dari pesta legendaris di film Mean Girls hingga kostum kelinci pink yang dikenakan Elle Woods dalam Legally Blonde, pakaian yang digunakan saat Halloween bukan sekadar hiburan. Ia menjadi cerminan bagaimana masyarakat melihat, menilai, dan mengekspresikan diri, terutama bagi perempuan yang berjuang untuk mengendalikan tubuh dan citranya sendiri. Namun di balik ekspresi bebas itu, industri hiburan dan fesyen justru memainkan peran besar, menjadikan kebebasan tersebut sebagai ladang bisnis bernilai miliaran dolar. Pertanyaannya, apakah Halloween masih soal ekspresi diri, atau hanya strategi industri yang membungkus komersialisasi dalam bentuk kebebasan?
Kostum Halloween bagi perempuan pernah menjadi simbol perlawanan yang kuat, terutama pada masa gelombang kedua feminisme di tahun 1960-an. Saat itu, pakaian bukan hanya urusan gaya, melainkan bentuk penentangan terhadap aturan sosial yang membatasi perempuan. Menurut peneliti Teresa Pavia dari University at Albany, mengenakan pakaian yang lebih terbuka dianggap sebagai tindakan melawan sistem patriarki yang mengatur tubuh perempuan. Dalam konteks Halloween, pesta kostum menjadi satu-satunya hari dalam setahun di mana perempuan bisa berpakaian bebas tanpa takut dihakimi. Dari situ, lahirlah pemahaman bahwa pilihan busana bisa menjadi simbol kebebasan. Namun, seiring waktu, semangat perlawanan itu mulai bergeser. Apa yang dulu menjadi bentuk ekspresi kini berubah menjadi komoditas yang dijual massal oleh industri besar demi keuntungan ekonomi.
Kebebasan berekspresi melalui Kostum Halloween kini semakin dikendalikan oleh pasar. Penelitian Adie Nelson dari University of Waterloo menunjukkan bahwa pilihan kostum bukan lagi sepenuhnya milik individu, melainkan hasil rekayasa industri yang menentukan apa yang dianggap menarik dan tren. Kostum perempuan, misalnya, cenderung dilabeli dengan kata “seksi”, mulai dari perawat, polisi, hingga pemadam kebakaran. Sebaliknya, kostum laki-laki tidak mengalami pelabelan serupa. Fenomena ini mencerminkan adanya bias gender yang terus dipelihara oleh industri hiburan dan media. Apa yang dulu menjadi simbol pembebasan kini dimanipulasi untuk mendorong konsumerisme dan membentuk standar kecantikan baru. Pasar tidak lagi menjual ide kebebasan, tetapi menjual citra “bebas” yang sudah dikemas rapi untuk menghasilkan keuntungan besar setiap musim Halloween tiba.
“Simak juga: Kampung Tepi Sawah Cikande, Surga Kuliner Serang yang Berkilau di Tengah Sawah!”
Pakaian yang digunakan saat perayaan Halloween kerap menimbulkan perdebatan antara kebebasan dan tekanan sosial. Di satu sisi, banyak yang menganggapnya sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Namun di sisi lain, standar penampilan yang diciptakan media sering kali menimbulkan tekanan, terutama bagi perempuan. Film seperti Mean Girls menggambarkan bagaimana Halloween menjadi ruang aman untuk berpakaian provokatif tanpa penilaian, sedangkan Legally Blonde menunjukkan sisi gelapnya, di mana perempuan justru dipermalukan karena tampil berbeda. Dalam dunia nyata, situasi ini tak jauh berbeda. Masyarakat masih cepat menghakimi perempuan dari cara berpakaian, seolah busana mencerminkan kecerdasan dan moralitas. Padahal, sejarah Halloween sendiri menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi adalah hasil perjuangan panjang melawan penindasan sosial dan gender, bukan sekadar pesta kostum satu malam.
Lebih dari sekadar pesta atau ajang bergaya, Halloween menggambarkan dinamika sosial yang kompleks. Di satu sisi, ia menjadi simbol kreativitas dan kebebasan individu. Namun di sisi lain, ia juga memperlihatkan bagaimana budaya populer dapat dengan mudah dikendalikan oleh kepentingan komersial. Industri hiburan, media, dan fesyen terus memperkuat citra tertentu demi menjual fantasi tentang keindahan dan keberanian. Akibatnya, makna personal dalam memilih kostum perlahan tergeser oleh tren pasar. Meski begitu, yang terpenting tetaplah kenyamanan dan keaslian dari si pemakai. Saat seseorang mengenakan pakaian pilihannya, baik yang berani maupun sederhana, itu adalah bentuk ekspresi yang paling jujur dari identitas diri. Maka, di balik gemerlap pesta dan kilau kostum mahal, Halloween sejatinya adalah cermin dari bagaimana masyarakat memandang kebebasan dan batasannya.
Artikel ini bersumber dari tirto dan untuk lebih lengkapnya kalian bisa baca di pasmarque
Penulis : Sarah Azhari
Editor : Anisa