Fast Fashion

Pas Marque – Dampak fast fashion semakin terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Industri ini menawarkan pakaian murah dan cepat dengan model terbaru, yang memicu konsumen untuk terus membeli barang baru. Namun, di balik kemudahan tersebut, fast fashion membawa dampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran tentang efek negatif dari produksi massal pakaian ini semakin meningkat, mendorong pergeseran menuju mode yang lebih berkelanjutan dan etis. Artikel ini akan mengungkapkan pengaruh buruk fast fashion, baik terhadap alam maupun para pekerja di industri tekstil global.

Sejarah Fast Fashion

Sebelum revolusi industri, pakaian adalah barang yang mahal dan dibuat dengan tangan. Namun, pada tahun 1980-an, perkembangan teknologi seperti mesin jahit mempercepat produksi pakaian secara massal. Hal ini memungkinkan industri fast fashion berkembang, memproduksi pakaian dalam jumlah besar dengan biaya rendah. Brand besar seperti Zara, H&M, Shein, dan Forever 21 menjadi pelopor dalam tren fast fashion. Mereka merilis koleksi baru setiap beberapa minggu sekali.

“Baca juga: Pesta Muslim Jakarta 2025: Fashion Show dan Belanja Khas Tanah Abang Mewarnai Maret”

Ciri-ciri Fast Fashion

Untuk mengenali produk fast fashion, ada beberapa ciri khas yang perlu diketahui.

  • Model pakaian mengikuti tren terbaru. Produk fast fashion sering kali meniru desain dari peragaan busana terkenal.
  • Perubahan model yang sangat cepat. Tren fashion bisa berubah dalam hitungan minggu, yang memicu konsumen membeli pakaian baru.
  • Diproduksi di negara berkembang dengan upah rendah. Banyak pabrik fast fashion berlokasi di negara seperti Bangladesh, Indonesia, dan Vietnam.
  • Menggunakan bahan berkualitas rendah. Pakaian fast fashion menggunakan bahan murah yang mudah rusak dan cepat menjadi limbah.

Dampak Fast Fashion terhadap Lingkungan

Industri fast fashion memiliki dampak negatif yang besar terhadap lingkungan. Beberapa dampaknya antara lain:

  • Konsumsi air yang berlebihan. Industri fast fashion merupakan sektor kedua terbesar dalam konsumsi air. Dibutuhkan sekitar 700 galon air untuk membuat satu kaos katun. Sementara itu, 2.000 galon air dibutuhkan untuk membuat satu celana jeans.
  • Polusi mikroplastik. Banyak pakaian fast fashion terbuat dari serat sintetis seperti poliester dan nilon. Ketika dicuci, serat kecil dari bahan ini terlepas dan mencemari laut.
  • Emisi karbon yang tinggi. Produksi pakaian menyumbang 10% dari total emisi karbon dunia. Bahkan, emisi dari industri tekstil diprediksi meningkat 60% pada tahun 2030.
  • Limbah tekstil. Sekitar 85% dari pakaian yang diproduksi setiap tahun berakhir di tempat pembuangan sampah. Banyak bahan fast fashion yang tidak bisa terurai dengan mudah.

“Simak juga: Skena Fashion Populer: Dari Runway hingga Gaya Sehari-hari”

Dampak Sosial Fast Fashion

Selain dampak lingkungan, fast fashion juga memberikan efek negatif bagi masyarakat, terutama para pekerja di negara berkembang. Berikut adalah beberapa dampaknya:

  • Eksploitasi pekerja. Sekitar 80% tenaga kerja di industri pakaian adalah perempuan muda yang bekerja dalam kondisi tidak aman.
  • Buruknya kondisi kerja. Banyak pekerja bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa perlindungan keselamatan di pabrik yang memiliki ventilasi buruk.
  • Tragedi Rana Plaza. Pada tahun 2013, pabrik Rana Plaza di Bangladesh runtuh, menewaskan lebih dari 1.100 pekerja. Tragedi ini memperlihatkan buruknya kondisi kerja di industri ini.

Kehadiran Slow Fashion sebagai Solusi

Sebagai solusi terhadap dampak buruk fast fashion, gerakan slow fashion mulai berkembang. Gerakan ini berfokus pada produksi pakaian yang lebih etis dan ramah lingkungan. Beberapa prinsip dalam slow fashion antara lain:

  • Menggunakan bahan ramah lingkungan. Pakaian slow fashion menggunakan bahan seperti katun organik, linen, dan hemp.
  • Mengurangi konsumsi pakaian. Slow fashion mendorong konsumen untuk membeli pakaian yang lebih berkualitas dan tahan lama.
  • Mendukung merek berkelanjutan. Slow fashion mengedepankan merek yang memiliki komitmen terhadap praktik produksi yang adil dan ramah lingkungan.
  • Membeli pakaian bekas atau bertukar pakaian. Hal ini dilakukan untuk mengurangi limbah tekstil dan mempromosikan konsumsi yang lebih bijaksana.

Beberapa merek besar sudah mulai menerapkan prinsip slow fashion. Ralph Lauren, misalnya, berencana menggunakan 100% bahan baku berkelanjutan pada tahun 2025. Platform seperti ThredUp dan Poshmark juga memungkinkan konsumen untuk membeli dan menjual pakaian bekas. Fast fashion memang menawarkan pakaian murah dan trendi, tetapi dampaknya sangat besar terhadap lingkungan dan pekerja. Kesadaran yang semakin meningkat tentang dampak ini mendorong perubahan dalam kebiasaan konsumsi. Kita perlu mendukung slow fashion dan memilih produk yang lebih berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik.

Similar Posts