Pas Marque – Skandal Fashion Show Anak Eks Pejabat Pajak baru-baru ini mencuat. Seorang anak mantan pejabat pajak, Feby Paramita, terlibat dalam acara fashion show yang diduga dibiayai dengan uang haram. Ayahnya, Muhamad Haniv, mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, menjadi tersangka dalam kasus ini. Keterlibatannya terkait penerimaan gratifikasi. KPK menyebutkan Haniv memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk bisnis anaknya.
Muhamad Haniv, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, diduga menyalahgunakan jabatannya. Ia menggunakan pengaruh dan koneksi untuk urusan pribadi. Salah satu keputusannya adalah membantu anaknya, Feby Paramita, menggelar fashion show. Feby memiliki usaha fesyen pakaian pria yang dikenal dengan nama FH Pour Homme by Feby Haniv.
Haniv dikatakan mengirimkan surat elektronik untuk meminta bantuan sponsorship bagi acara fashion show yang akan diselenggarakan. Surat tersebut dikirim pada 5 Desember 2016 kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing 3. Dalam email itu, Haniv meminta sejumlah perusahaan untuk memberikan dana sponsorship. Proposal yang diajukan meminta sejumlah dana hingga Rp 150 juta.
“Baca juga: Kolaborasi BNI dan Tenun Modestwear di Cita Raya HIKAYAT”
Dari permintaan sponsorship tersebut, Feby Paramita menerima total dana yang sangat mencurigakan. Sebesar Rp 804 juta diterima oleh Feby untuk acara fashion show yang berlangsung pada 13 Desember 2016. Dana tersebut berasal dari Wajib Pajak Kantor Wilayah Jakarta Khusus dan pegawai KPP Penanaman Modal Asing 3.
Asep Guntur Rahayu, Direktur Penyidikan KPK, menjelaskan bahwa dana tersebut bukan berasal dari sponsor yang sah. Alih-alih mendapatkan keuntungan, perusahaan yang memberikan uang sponsorship tidak memperoleh apapun dari acara tersebut.
Kasus ini mengungkapkan adanya penyalahgunaan jabatan dalam lingkungan DJP. Gaji tinggi yang diterima oleh PNS DJP tampaknya tidak mampu menghindarkan mereka dari perilaku korupsi. DJP memiliki remunerasi yang tinggi, bahkan melebihi beberapa kementerian lain. Gaji pokok PNS DJP berkisar antara Rp 3 juta hingga lebih dari Rp 5 juta per bulan, tergantung golongan.
Selain itu, PNS DJP juga mendapatkan tunjangan kinerja yang cukup besar. Bagi pejabat eselon I, tunjangan tersebut bisa mencapai puluhan juta rupiah. Meski demikian, hal tersebut tidak menjamin bahwa mereka akan terhindar dari godaan korupsi. Dalam kasus ini, penghasilan dan tunjangan besar tidak menghentikan Haniv untuk memanfaatkan jabatannya demi kepentingan pribadi dan keluarganya.
Dalam periode 2016 hingga 2017, Feby Paramita menerima berbagai dana dari wajib pajak dan pegawai DJP. Jumlah total yang diterima mencapai lebih dari Rp 800 juta. Dana tersebut digunakan untuk mendanai fashion show FH Pour Homme by Feby Haniv. Meski uang tersebut diterima atas nama sponsor, para perusahaan yang memberi dana mengaku tidak mendapatkan keuntungan apapun.
KPK mengungkapkan bahwa transaksi dana tersebut berpotensi merupakan gratifikasi. Gratifikasi sendiri merupakan pemberian yang diterima pegawai negeri tanpa adanya kewajiban atau imbalan yang sah. Dalam kasus ini, dugaan tersebut semakin menguatkan isu adanya praktik korupsi dalam tubuh DJP.
“Simak juga: Ciptakan Statement dengan Gaya Fashion Cewek Skena yang Berbeda”
Gaji tinggi bagi PNS DJP sering kali menjadi sorotan. Namun, meskipun memiliki penghasilan yang memadai, kasus ini menunjukkan bahwa hal tersebut tidak menghalangi perilaku korupsi. PNS DJP bahkan mendapat berbagai tunjangan seperti tunjangan anak, tunjangan kemahalan, dan tunjangan pasangan. Dengan berbagai fasilitas tersebut, seharusnya tidak ada alasan bagi mereka untuk terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Namun, kenyataannya malah terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Kasus ini membuka mata banyak pihak tentang pentingnya transparansi dan pengawasan yang lebih ketat dalam sektor pajak, terutama dalam hal penerimaan gratifikasi.
Skandal fashion show ini menunjukkan bahwa meskipun ada banyak fasilitas dan gaji yang tinggi, praktik korupsi tetap terjadi. Kasus ini harus menjadi peringatan bagi semua pihak untuk lebih waspada terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan negara dan masyarakat.